BANJARMASIN – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Banjarmasin menggelar Pelatihan Konvensi Hak Anak, di Aula Kayuh Baimbai, Balai Kota Banjarmasin, Kamis (04/04).
Kegiatan yang dilaksanakan selama dua hari dari tanggal 4 dan 5 April itu bertujuan, meningkatnya pemahaman para pemangku kebijakan mengenai isi dan implementasi Konvensi Hak Anak (KHA), serta meningkatnya kapasitas sumber daya manusia dibidang perlindungan dan pemenuhan hak anak, dan berkembangnya langkah-langkah strategis dalam implementasi pemenuhan hak anak berdasarkan isi KHA. Menurut Walikota Banjarmasin H Ibnu Sina pelatihan tersebut sangat penting untuk diikutin mengingat hak-hak warga sipil sudah diratifikasi (disyahkan dalam pembuatan perjanjian internasional), melalui keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990. “Secara nasional di dalam human rights ini menjadi fokus bagi kota-kota di Indonesia, bahkan kota-kota di dunia, dalam pointer SDGs misalnya, ada 17 target sasaran pembangunan di tahun 2030 akan tercapai, salah satunya juga adalah terkait dengan hak sipil,” ucapnya, saat menyampaikan arahannya dalam pembukaan kegiatan pelatihan tersebut. Oleh karena, lanjutnya, kegiatan pelatihan tersebut harus diikuti dan dicermati semua peserta sehingga bisa menghasilkan kesepakatan dan pemahaman terkait pemenuhan hak anak di Kota Banjarmasin. “Mudah-mudahan Kota Banjarmasin bisa lebih maju dibandingkan dengan kota-kota lain,” harapnya.
Sebagaimana diketahui, konvensi hak anak menjabarkan secara rinci tentang hak-hak anak, yang dikelompokkan ke dalam 5 klaster substantif, diantaranya seperti hak sipil dan kebebasan, lingkungan keluarga dan pengasuhan, kesehatan dasar dan kesejahteraan, pendidikan pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya serta perlindungan khusus anak. Untuk hak sipil dan kebebasan terdapat 3 hal yang harus dipenuhi, yaitu semua anak harus memiliki akta kelahiran. Kemudian meningkatkan akses anak terhadap informasi dan dilain pihak perlu disertai upaya mencegah anak atas informasi yang tidak layak dikonsumsi, terutama dari pengaruh negatif pornografi dan kekerasan. Meningkatkan partisipasi anak. Kemudian lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif. Terdapat 3 hal penting, yaitu lingkungan keluarga yang aman dan nyaman bagi anak untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, termasuk penyediaan ruang bermain ramah anak (RBRA) dan upaya penurunan perkawinan usia anak.
Bagi anak-anak yang tidak memiliki orang tua (kandung atau pengganti), perlu diciptakan suatu pola pengasuhan alternatif yang berkualitas, dan penyediaan lembaga konsultasi bagi keluarga dalam mendidik dan mengasuh anak, misalnya dalam bentuk Pusat Pembelajaran Keluarga (PPK). Selanjutnya, kesehatan dasar dan kesejahteraan, yang mengatur 3 (tjga) hal penting, yaitu memastikan setiap anak sehat dan bergizi baik. Anak tumbuh dan berkembang dalam kondisi kesejahteraan dari, keluarga, dan masyarakat disekitarnya yang sejahtera. Menyediakan pelayanan ramah anak di lembaga-lembaga penyedia layanan kesehatan, terutama di rumah sakit dan puskesmas dan pendidikan. Pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya, yang meliputl 2 hal penting, yaitu, semua anak harus sekolah, sejalan dengan program wajib belajar 12 tahun, disertai dengan perwujudan Sekolah Ramah Anak (SRA) serta penyediaan rute aman dan selamat ke dan dari sekolah. Pemanfaatan waktu luang yang diperlukan anak karena anak juga harus beristirahat dan mengisi hari-harinya dengan hal-hal yang memang diminati dan positif, termasuk kegiatan budaya melalui pembentukan ruang kreatifitas anak dan perlindungan khusus anak, yang mencakup upaya-upaya yang harus dilakukan agar setiap anak tidak didiskriminasi dah tidak mengalami kekerasan selama hidupnya. Dalam Undang-Undang nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada Pasal 59 terdapat 15 anak yang dikategorikan anak yang memerlukan perlindungan khusus , termasuk anak berkebutuhan khusus, anak penyandang disabilitas, anak pada situasi bencana, anak-anak marjinal, dan lain-lain.(humpro-bjm)
Posting Komentar